KUNCI JUBIR* Oleh: Sarjono (Mahasiswa Magister KPI Pascasarjana UIN Mataram)
MEREPRESENTASI institusi/lembaga tempat berkhidmat, seorang juru bicara (jubir) harus memahami secara komprehensif cara-cara menilai suatu informasi supaya memberi dampak positif terhadap institusi. Misalkan saja, jubir memberitahu kepada pimpinan pada kesempatan harus menyampaikan apa kepada masyarakat atau media massa.
Seorang jubir juga mesti menghargai media dalam rangka memaksimalkan penyampaian data dan informasi kepada publik. Jubir pun harus tahu tata cara berbicara dengan media seraya menjaga etiket pribadi. Pertama, jangan pernah berbohong kepada media. Prihal apapun yang ingin dikatakan harus sesuai dengan data dan fakta. Kedua, jubir tidak boleh memberikan kalimat yang multitafsir, lantaran berbahaya dan dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Perlu pula diingat bahwa seorang jubir tidak diperbolehkan menjawab tanpa komentar. Artinya jangan sekali-kali menjawab dengan tanpa komentar. Ini berarti jubir harus menyampaikan sesuatu berdasarkan data yang diperoleh dari hasil telaahan terlebih dahulu. Prinsip terpenting adalah menyelesaikan masalah tanpa masalah (baru).
Jubir harus bisa menjadi mediator bagi para pihak yang bermasalah sehingga dapat ditangani dengan baik. Ibaratnya, memulai sesuatu itu mudah akan tetapi mempertahankan yang sulit.
Mencegah simpang siurnya informasi, sebaiknya informasi yang akan disampaikan pada publik harus melalui satu pintu. Meniscayakan eksistensi jubir signifikan menjaga dan meningkatkan reputasi pemerintah.
Untuk dapat menjadi jubir yang baik, berikut tiga faktor yang harus dipenuhi: kredibilitas, data akurat dan penyampaian jelas. Ketiganya menjadi faktor kunci yang perlu selalu dipedomani jubir. Jika tiga faktor ini terpenuhi, maka semakin besar kemungkinan pesan yang disampaikan akan dapat meyakinkan dan bahkan dipercaya khalayak.
Seorang jubir menjadi simbol suara institusi yang bertanggung jawab dalam penyajian pesan dan informasi yang akurat dan konsisten. Mengomunikasikan informasi kepada publik serta membangun kepercayaan dan kredibilitas institusi. Kedudukannya sebagai pihak yang berada di garda terdepan meniscayakan seorang jubir bisa menjelaskan ataupun menjawab masalah-masalah daerah kepada publik secara kredibel, akurat dan jelas.
Informasi yang tidak akurat, kredibel dan jelas akan menyebabkan persepsi publik menjadi salah dan keberhasilan program pemerintah pun tidak sampai ke publik. Dapat memunculkan pemberitaan fitnah dan palsu, serta pimpinan menjadi titik sasar kemarahan publik. Pun, informasi yang akurat, kredibel dan jelas akan membuat publik dapat memahami kebijakan atau keputusan pemerintah, sehingga akan dapat mendukung, mengurangi fitnah terhadap pemerintah serta mengurangi perdebatan di ranah publik.
Suatu keniscayaan membangun sinergi dengan media melalui sejumlah cara elegan: dialog seraya memberi kesempatan interview, doorstop, jumpa pers dan menerbitkan siaran pers, membangun kerjasama pemerintah dan media dalam hal-hal positif, misalnya informasi siklus pembangunan.
*Kepribadian Jubir*
Dikutip dari https://jdih.karimunkab.go.id, berikut sejumlah kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang jubir. Pertama, Jujur. Seorang jubir dituntut untuk selalu berkata jujur. Jujur bukan berarti semua harus dikatakan. Artinya mengatakan apa yang seharusnya dikatakan dan tidak perlu mengatakan apa yang tidak perlu apalagi tidak boleh dikatakan. Pasalnya belum tentu tersedia waktu yang cukup untuk mengatakan semua yang mau disampaikan. Dalam kondisi yang buruk sekalipun seorang jubir harus tetap berkata jujur. Menyampaikan dengan baik agar publik bisa menerima apa adanya meskipun akan terasa pahit. Jujur apa adanya jauh lebih baik daripada sibuk berkelit dengan statemen bohong. Publik pada umumnya akan lebih mudah menerima dan memaafkan ketika mau bersikap jujur, daripada harus berusaha menutupi kondisi yang sebenarnya. Jika publik sudah merasa dibohongi akan amat sulit untuk mengobatinya. Satu hal yang perlu diatensi bahwa kepercayaan dapat terbangun oleh rasa simpatik. Kejujuran, dalam konteks ini menjadi salah satu cara untuk meraih simpatik. Kedua, Santun. Berbicara dan bertutur kata yang baik adalah modal utama dalam berkomunikasi. Pesan baru dianggap penting manakala tersampaikan dengan baik. Cara penyampaian pesan yang arogan akan menumbuhkan resistensi komunikan, sehingga memicu perdebatan yang tidak substansial. Sikap santun harus ditunjukan oleh seorang jubir dalam berkomunikasi (verbal maupun non verbal). Penataan kalimat dalam suatu ucapan dan tulisan akan berpengaruh besar pada perubahan sikap dan etika. Persepsi lebih cepat terbangun oleh cara pesan itu disampaikan daripada isi pesan itu sendiri. Publik akan lebih dulu tertarik oleh sikap dan etika yang ditunjukkan oleh pembicara sebelum tertarik untuk memahami isi pesan yang disampaikan. Ketiga, Berintegritas. Integritas adalah sikap personal yang teguh dalam memegang prinsip sebagai nilai-nilai moral dan keyakinan. Pertaruhan yang paling besar bagi seorang jubir adalah pertaruhan pada dirinya sendiri. Seorang jubir niscaya memiliki integritas dan riwayat yang tidak tercela. Publik akan mengukur apa yang pernah dilakukan dengan apa yang saat ini diucapkan. Jubir, dengan demikian, adalah cermin dari sebuah institusi, apapun jenisnya. Publik akan mengomparasikan apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Jadi konsistensi adalah kunci utamanya. Dalam proses komunikasi publik, faktor pribadi seorang jubir sangat menentukan, pasalnya secara umum publik lebih memperhitungkan siapa yang berbicara daripada apa yang dibicarakan, sehingga integritas menjadi syarat mutlak dimiliki oleh seorang jubir. Keempat, Objektif. Sikap objektif adalah penilaian yang didasarkan pada data dan fakta dan bukan berdasarkan penilaian pribadi dan asumsi. Seorang jubir tidak boleh terjebak pada posisi subjektif atas dirinya sendiri karena akan menimbulkan informasi yang disampaikan menjadi bias. Artinya seberapa banyak data yang dimilikinya, itulah yang menjadi dasar penyampaian informasi. Seorang jubir diharapkan senantiasa sadar bahwa dia berbicara bukan atas nama pribadi, tapi atas nama lembaga yang menunjuknya, sehingga harus menghindari munculnya opini pribadi dalam menyampaikan pesan kepada publik. Seorang jubir pemerintah daerah harus mampu membedakan diri dalam kedudukannya sebagai seorang pejabat protokol pimpinan dan sebagai jubir, kendatipun selalu ada irisan etika yang tetap tidak boleh dilanggar dalam melaksanakan fungsi jubir. Kelima, Lugas dan Tegas. Seseorang tidak bisa memaksa publik berpikir tentang apa yang disampaikan. Sebab maksud pesan harus bisa dipahami dan dimengerti oleh publik seketika itu juga. Pesan penting tidak boleh terlewatkan begitu saja hanya lantaran jubir bertele-tele. Sesungguhnya penyampaian pesan ditujukan untuk beberapa tahapan maksud, antara lain pesan untuk mendapatkan perhatian dari khalayak target komunikasi, pesan untuk menarik minat khalayak kepada isi pesan, pesan untuk menggerakkan khalayak agar bertindak sesuai dengan isi pesan, dan pesan untuk mengarahkan sikap dan tindakan khalayak agar tetap sesuai dengan kehendak komunikator. Keenam, Tenang. Kontrol diri yang baik akan membawa seorang jubir mampu mengambil sikap yang tepat dalam segala situasi dan kondisi. Ketenangan adalah kunci dalam proses komunikasi dikala krisis. Ujian pertama bagi seorang jubir adalah kemampuan menguasai diri sendiri, baru setelah itu ia harus mampu menguasai audiensnya. Sikap gugup akan menurunkan diksi dan artikulasi dalam berbicara. Penguasaan diri bisa dimulai dari saat mengambil nafas sebelum berbicara. Lalu fokus pada apa yang akan disampaikan. Informasi harus disampaikan mulai dari yang terpenting agar pesan utama tidak terlewatkan atau tidak kehilangan momen untuk menyampaikannya. Situasi tidak selalu bisa diatur sesuai kehendak kita, namun situasi menjadi niscaya kita tundukkan dengan ketenangan diri. Ketujuh, Sabar. Sifat sabar adalah kunci pengendalian diri dalam setiap keadaan. Banyak hal yang pasti akan memicu timbulnya emosi ketika berhadapan dengan audiens dari berbagai kalangan. Jubir yang handal tidak boleh terpengaruh oleh situasi yang dihadapi. Ia harus tetap sabar dan bersikap normal, jangan sekali-kali terpancing oleh prilaku audiens. Memusatkan pikiran pada apa yang harus disampaikan, kendati banyak rintangan yang menghadang. Di tengah situasi chaos, seorang jubir pun meski mampu menentukan saat yang tepat, kapan ia harus berbicara dan kapan harus menjadi pendengar. Saat menjadi pendengar tidak cukup sekadar menyediakan telinga, namun harus memberikan respons yang menyejukan agar emosi khalayak bisa reda. Semoga (*)