Tuan Guru Zainuddin: Revolusi Pendidikan Islam dan Semangat Kebangsaan Masa Kolonial
Oleh Muhammad Said
Pendidikan Modern Hindia Belanda di Lombok Timur Di masa Hindia Belanda, ibu kota Lombok Timur pada mulanya adalah Sisik. Kemudian kebijakan Gouverneur Generaal van Nederlandsch-lndie tanggal 11 Maret 1898 memindahkan ibu kota ke Selong sebagai Onderafdeeling Oost Lombok. Dalam laporan Bataviaasch nieuwsblad (30-08-1897), Selong awalnya merupakan garnisun Militer; sebuah pangkalan tentara kolonial Belanda di Lombok Timur. Bersamaan dengan pemindahan ibu kota, muncul pula rencana pendirian sekolah modern, yakni sekolah yang menggunakan aksara latin dan bahasa Melayu sebagai pengantar.
Verslag over de burgerlijke openbare werken in Nederlandsch-Indie (1901) menyebutkan bahwa pembangunan sekolah modern di Selong terealisasi pada tahun 1901. Sekolah modern di Selong ini adalah pendidikan modern pertama di pulau Lombok masa kolonial. Sebagaimana dimuat Soerabaijasch handelsblad (27-12-1902) bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah modern Selong itu dimulai sejak 12 Mei 1902 dengan 65 siswa perdana.
Sembilan tahun kemudian, tahun 1911, muncul beberapa sekolah swasta di Oost Lombok seperti di Laboean Hadji, Sakra dan Tandjoeng Loewar sebagaimana dicatat dalam laporan Bataviaasch nieuwsblad (20-01-1911). Penyelenggaraan sistem pendidikan modern di Lombok terbilang belum terlambat, jika dibandingkan dengan afdeeling Bali di kota Denpasar yang diselenggarakan agak belakangan. Namun sangat jauh terlambat jika dibandingkan dengan afdeeling Jawa dan Sumatra, yang telah dimulai sejak tahun 1851.
Pada tahun 1914 pemerintah Hindia Belanda membentuk sekolah dasar Holand Indische School (HIS) bagi siswa-siswa pribumi. Sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Siswa-siwa HIS kebanyakan dari putra-putri pribumi kaum bangsawan dan kelas menengah. HIS dibangun dengan tujuan untuk memisahkan anak-anak pribumi dan anak-anak Eropa di ELS (Europeesche Lagere School). Sembilan tahun kemudian, pada 1923 pemerintah Hindia Belanda merencankan pembangunan HIS di Mataram (Lombok Barat). Sebagai ibu kota Afdeeling Lombok Mataram dianggap strategis. Sebab wilayah Mataram, terutama di Ampenan, dihuni oleh orang-orang Eropa, Tionghoa dan Arab. Laporan Algemeen Handelsblad,(13-11-1926) menyebutkan bahwa Sekolah HIS Mataram baru diresmikan pada 3 Januari 1927 di bawah pimpinan guru G. Oosterink (Mantan Kepala HIS di Joembang Jawa Timur).
Keberadaan HIS di Mataram ternyata kurang memberi akses bagi anak-anak pribumi Sasak yang umumnya berdiam di Midden Lombok dan Oost Lombok. De Telegraaf (27-08-1938) melaporkan bahwa HIS Mataram justru dinikmati oleh anak-anak orang Bali yang sebagian besar bermukim di Lombok Barat. Atas dasar itu, pemerintah Hindia Belanda membangun sekolah alternatif di Lombok Timur, yakni Schakelschool (sekolah Lanjutan), sebagai tempat belajar lanjutan bagi anak-anak pribumi Sasak bangsawan dan keluraga kelas menengah Lombok Timur. Sementara itu, anak-anak kelompok jajar karang—proletar, tentu saja tak bisa mengakses pendidikan ini.
Revolusi Pendidikan Islam di Masa Kolonial di Lombok Adalah Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid pemilik nama kecil Muhammad Assaggaf. Yang kelak menjadi figur Pahlawan Nasional asal Nusa Tengara Barat, merupakan salah seorang alumnus sekolah modern Selong zaman Hindia Belanda. Dalam Muhammad Noor Dkk “Visi Kebangsaan Religius Tuan Guru Kiyai Haji MuhammadZanuddin Abdul Madjid (2004)” dijelaskan bahwa Muhamad Assagaf masuk sekolah Gubernemen (Sekolah Belanda) di Selong pada 1915 hingga 1919. Keterlibatannya di Sekolah ini tentu saja, meskipun bukan trah bangsawan, tetapi Assaggaf kecl adalah putra dari keluarga kelas menengah muslim di Pantjor Lombok Timur. Kapital ekonomi itulah yang membuatnya mendapat akses pendidikan Sekolah modern Hindia Belanda.
Setelah lulus dari sekolah modern Belanda itu, Assagaf berangkat melanjutkan studinya ke Makkah pada tahun 1923. Di sana ia memilih belajar di Madrasah legendaris, yang telah melahirkan banyak ulama-ulama besar dunia, yakni Madrasah Shaulatiyyah (berdiri 1219 H). Abd Latif Abdullh Dohish dalam “History of Education in Hijaz up to 1925” menjelaskan bahwa murid-murid Jawi (Asia Tengara) merupakan murid dengan jumlah terbanyak di Madrasah Shaulatiyyah dibandingkan dari wilayah-wilayah lain.
Masnun dalam “Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: gagasan dan gerakan pembaharuan Islam di Nusa tenggara Barat” menjelaskan bahwa Assaggaf belajar di Madrasah Shaulatiyah sejak tahun 1927 M sampai 1933 M. Selain itu, ia juga mengaji secara non-formal di luar Shaulatiyyah, sehingga genap 12 tahun ia habiskan selama studi di Makkah. Pada tahun 1934 ia kembali ke Tanah Air, Lombok, dan lansung bergerak di bidang pendidikan Islam.Tuan Guru Zainuddin mengembangkan pesantren Al-Mujahidin sebagai pusat pendidikan Islam bagi orang-orang Sasak. Melalui pesantren ini ia bertekad menghapus buta aksara latin dan Arab bagi anak-anak muda orang Sasak. Cita-cita mulianya itu tentu saja didorong oleh realitas sosial orang Sasak yang telah lama hidup dalam keterbelakangan dan keterpurukan akibat penguasaan Bali, juga kolonial Belanda.
Titimangsa 1936 menjadi tonggak perjuangannya penting dalam revolusi pendidikan Islam di Lombok. Tanpa tedeng aling-aling, Tuan Guru Zainuddin mengajukan izin pendirian Sekolah (Madrasah) kepada pemerintah Hindia Belanda Controlier Oost Lombok di Selong. Langkah ini tentu saja bukan perkara mudah di tengah situasi keterjajahan. Namun kegigihannya tak sia-sia. Pucuk dicinta wulan pun tiba, surat izin pendirian Madrasah Modern Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) keluar pada tanggal 17 agustus 1936 M. Lalu Madrasah tersebut diresmikan pada tahun 1937. Madrasah NWDI tercatat sebagai Madrasah modern pertama di pulau Lombok di masa-masa kolonial. Yakni sebuah madrasah yang memadukan tradisi modern seperti umumnya sekolah Belanda (menggunakan jenjang kelas) dengan tradisi Islam yang diisnpirasi dari Madrasah Shulatiyyah.
Penamaan madrasah ini juga mengandung makna filosofis, Nahdlah bermakna kebangkitan, al-wathan berarti tanah air, dan diniyah Islamiyah berarti agama Islam. Dari nama tersebut, tercermin suatu nafas gelora revolusi pendidikan dan kebangsaan (nasionalisme) yang dipertautkan dengan asas-asas nilai Islam. Tak berhneti sampai di situ, Tuan Guru Zainuddin juga mendirikan madrasah khusus bagi kaum perempuan Sasak,yakni Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) tahun 1943. Madrasah ini bertujuan mengangkat harga diri kaum perempuan Sasak yang kerap dipandang sebelah mata, bahkan terkadang dilecehkan sejak masa-masa kolonial, bahkan hingga awal-awal masa kemerdekaan.
Madrasah NWDI yang mula-mula direstui Belanda, kelak justru menjadi boomerang bagi pihak Belanda sendiri. Sebab murid-murid dan alumnus Madrasah ini justru tampil sebagai penentang utama dan tokoh perlawanan terhadap kolonial di Lombok. Ketika Belanda dan Jepang saling berebut pengaruh di Lombok dan di Indonesia secara umum, Tuan Guru Zainuddin bersama murid-muridnya, serta kolega-koleganya dari kalangan muslim Sasak di Lombok Timur mengelorakan “gerakan al-mujahidin”. Yakni sebauh gerakan revolusi sosial (fisik) untuk melawan kolonial. Gerakan ini dikomandoi lansung oleh adiknya, yakni Tuan Guru Muhammad Faishal, juga Tuan Guru Ahmad Rifa’i. Perlawanan fisik ini berhasil melumpuhkan markas NICA (Nederlands Indies Civil admiistration) di Selong Lombok Timur. Sebuah epos perlawanan yang mesti dikenang sebagai sebuah jejak pertumbuhan nasionalisme di Pulau Lombok bagian Timur. Tentu api “api perjuangan” Maulana Syaikh semacam inilah yang mesti ditransfer ke generasi-generasi berikutnya.
Di masa selanjutnya, era kolonial Jepang, Madrasah NWDI ini semakin berkembang. Meski tak jarang mendapatkan intimidasi dan hendak dibubarkan. Namun, NWDI dan NBDI selamat dari nacaman tersebut, di tengah banyaknya pondok-pondok pesanren di Jawa ditutup Jepang. Alumnus-alumnus Madrasah NWDI menyebar dan menjadi agen-agen yang mendirikan cabang madrasah ini di desa-desa di pulau Lombok. Dalam konteks ini, Tuan Guru Zainuddin telah sukses melakukan “rekayasa sosial-politik” di Gumi Sasak. Dalam arti kata, ia berhasil melakukan revolusi dalam pendidikan Islam, yang kemudian mendorong tunas dan tumbuhnya semangat nasionalisme orang-orang Sasak menuju sebuah cita-cita kemerdekaan. Dari jejaring madrasah ini pula kelak Tuan Guru Zainuddin mendirikan Organisasi Islam terbesar di Nusa Tenggara Barat, yakni Nahdlatul Wathan. Mari kita warisi api perjuangan Maulana Syaikh, dan hindari perdebatan-perdebatan yang tidak perlu.