Penulis : Dr. Fauzan, M.Pd.
Kepala Dinas Kominfo dan Persandian Kabupaten Lombok Timur.
Editor : Mustaan Suardi
Pendahuluan
Masalah korupsi semakin hari semakin ramai diperbincangkan, banyak hal yang menjadi topik pembicaraan, tidak semata tentang pelaku dan perilakunya tetapi juga tentang berbagai upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi. Pelaku korupsi tertangkap silih berganti dalam rentang waktu pendek melibatkan orang yang sama, pelaku juga biasanya orang yang dianggap tidak akan melakukan tindakan korupsi sehingga menjadi lebih menarik diperbincangkan dengan berbagai versi penutur. Di samping itu, korupsi dominan berhubungan dengan harta pihak lain (khususnya negara) yang dipergunakan secara keliru oleh oknum koruptor.
Perkembangan praktik atau tindak pidana korupsi di Indonesia cukup memprihatinkan. Hampir setiap hari masyarakat dipertontonkan dengan informasi dan data yang mengindikasikan adanya praktik korupsi. Oleh beberapa pihak, tidak pidana korupsi dianggap sudah membudaya di Indonesia dan menyebar pada seluruh elemen pemerintahan (Gani & Resa, 2018) di tingkat pusat maupun daerah. Implikasi logisnya adalah trust masyarakat terhadap pemerintah pun lambat laun menjadi down.
Kondisi ini tidak terjadi tiba-tiba, pelimpahan wewenang yang berlebihan disertai minimnya pengawasan menjadi salah satu faktor yang membuat tindak pidana korupsi menjamur. Uniknya karakter korupsi serta sifatnya yang multidimensi dan merusak menjadikannya sebagai tindak pidana yang sulit untuk diungkapkan. Dibutuhkan langkah yang bersifat extra ordinary way melalui piranti hukum pidana materilnya maupun hukum pidana formilnya, sehingga kerap menimbulkan perbedaan pendapat dan tafsir di kalangan praktisi hukum maupun teoritis hukum tentang batasan korupsi. Tidak jarang hal ini menjadi ruang bagi oknum koruptor untuk lolos dari jeratan hukum, meski pun nyata telah melakukan tindak korupsi.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Transparency International sebagai hasil survey yang dilakukan terhadap 180 negara, IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia pada tahun 2021 meningkat 1 poin dari kondisi tahun sebelumnya menjadi 38. Tahun 2019, Indonesia pernah memperoleh nilai terbaiknya yaitu 40, tetapi turun tiga poin menjadi 37 di tahun 2020. Perolehan nilai IPK ini, memposisikan Indonesia berada pada peringkat 96 dari 108 negara terkorup (sebelumnya berada di peringkat 102). Termasuk juga dalam 3 besar negara terkorup (setelah Rusia dan Meksiko) pada kelompok negara G-20. Penilaian IPK menggunakan skala 0-100, nilai 0 berarti bahwa negara tersebut sangat korup, sebaliknya angka 100 bermakna negara tersebut bersih dari praktik korupsi (Databoks, 2022).
Sejalan dengan kondisi tersebut, BPS juga merilis data terbaru capaian IPAK (Indeks Perilaku Anti Korupsi) Indonesia tahun 2022 yang sudah mencapai angka 3,93. Angka ini meningkat dari capaian tahun sebelumnya yang sebanyak 3,88. Skala yang dipergunakan dalam IPAK adalah 0-5 yang menunjukkan bahwa semakin tinggi angka indeks, berarti masyarakat berperilaku semakin tidak permisif (tidak mendukung) perilaku korupsi. BPS juga mengisyaratkan adanya korelasi positif tingkat pendidikan dengan praktik antikorupsi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, masyarakat cenderung semakin bersikap antikorupsi. Hal ini diperkuat data tahun 2022, IPAK masyarakat yang berpendidikan dasar (tingkat SD ke bawah) sebesar 3,87, menengah (SMP dan SMA) sebesar 3,94, dan tinggi sebesar 4,04 (BPS, 2022).
Pemberantasan korupsi memang bukan hal yang mudah, sudah banyak upaya yang dilakukan tetapi hasilnya belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan. The Seventh United States Congress on Crime Prevention for Freedom, Justice, Peace and Development 1985, menyampaikan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari level upper power class dan upper economic class (Surono, 2016). Amanat ini mengindikasikan bahwa pemberantasan dan pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan pendekatan non-penal melalui pendidikan dari berbagai level mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, mahasiswa, pers sebagai social power dan institusi kenegaraan sebagai political power.
Sebagai bagian dari social power, mahasiswa dapat dikatakan cukup unik. Dengan jumlah tidak terlalu banyak mampu menunjukkan eksistensi dirinya sebagai agent of change yang dapat mempengaruhi dinamika di tengah masyarakat dan pemerintah berbekal semangat dan idealismenya. Dua main capital yang dimiliki mahasiswa ini menjadi pondasi kuat mereka untuk mendorong perubahan terhadap kondisi yang dianggap tidak adil, tidak memihak kepada masyarakat dan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh pemegang otoritas.
Tujuan utama aktivitas mahasiswa sebagai social power adalah mewujudkan keadilan bagi masyarakat, bangsa dan negaranya. Sejarah pun mencatat dengan jelas jejak perjuangan mahasiswa sejak Indonesia belum merdeka. Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari andil gerakan mahasiswa STOVIA, demikian juga ketika situasi pemerintahan Soekarno labil, mahasiswa tampil memberi semangat bagi pelaksanaan tritura yang ending-nya membidani lahirnya orde baru. Demikian juga ketika penyimpangan pada masa orde baru merebak, mahasiswa memelopori perubahan yang melahirkan zaman reformasi.
Perkembangan peran mahasiswa dewasa ini semakin menguat dalam memperjuangkan idealismenya, untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia meski tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Terpuruknya kondisi Bangsa Indonesia akibat merebaknya praktik korupsi pada berbagai level pemerintahan (institusi) yang melibatkan berbagai oknum dengan beragam modus operandi membuat mahasiswa semakin agresif dan keras dalam bersikap.
Perguruan tinggi yang menjadi wadah mahasiswa memiliki peran dan fungsi luhur sebagai agent of change dalam masyarakat yang dapat mengarahkan gerakan mahasiswa. Perguruan tinggi juga dapat menjadi ruang konstruktif bagi pembinaan masyarakat yang berbudaya menuju terbentuknya suatu peradaban bangsa dengan nilai religiusitas tinggi yang mau dan mampu bersikap tegas untuk tidak permisif terhadap praktik korupsi. Implikasi logisnya, perguruan tinggi tidak hanya identik dengan pendidikan yang berorientasi pada pembinaan keilmuan, tetapi juga sebagai wadah mengabdi kepada masyarakat mengingat perguruan tinggi terikat pada tri dan catur dharma perguruan tinggi.
Korupsi adalah extraordinary crime, sehingga pencegahan dan pemberantasannya membutuhkan kerjasama semua elemen masyarakat termasuk mahasiswa sebagai social power. Berbagai modus operandi korupsi yang semakin canggih dan terstruktur, menuntut dilakukannya upaya antisipasi yang massif dan tersistem, termasuk dalam bidang pendidikan. Memasukkan materi pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan Indonesia merupakan upaya yang patut diapresiasi, terlebih di jenjang perguruan tinggi yang sasaran utamanya mahasiswa. Elemen ini adalah pemegang estafet kepemimpinan paling dekat yang perlu dibekali pengetahuan antikorupsi sehingga dapat berperan sebagai subjek yang mencegah dan memberantas korupsi.
Pengertian dan Dinamika Korupsi
Korupsi sesungguhnya berasal dari bahasa Latin yaitu corruptie atau curruptus, disinyalir juga merupakan turunan dari kata curruptio yang berasal kata kerja corrumpere (bahasa Latin kuno) (Gani & Resa, 2018). Dari bahasa Latin inilah kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa terutama di daratan benua Eropa. Negara Inggris secara resmi menggunakan kata corruption dan corrupt dengan pemahaman berbeda, Prancis dominan menggunakan istilah corruption dan Belanda memilih kata corruptie yang kemudian di Indonesia familiar dengan sebutan korupsi.
Korupsi identik dengan ketidakjujuran, tidak bermoral, kebejatan, keburukan, kebusukan, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa korupsi merupakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (KBBI, 2022). Definisi korupsi yang hingga saat ini dipegang oleh World Bank adalah korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi.
Korupsi dapat dipahami secara umum sebagai penyalahgunaan kedudukan (jabatan), kekuasaan, kesempatan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan atau kelompoknya yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat (Surono, 2016). Korupsi juga dipahami sebagai perbuatan buruk yang dilakukan oleh oknum, seperti penggelapan uang, penerimaan suap, dan sebagainya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang mengakibatkan adanya kerugian pada negara, yang dilakukan oleh orang yang memiliki kepentingan dan kekuasaan (Burhanudin, 2019).
Dalam konteks hukum positif, pengertian dan bentuk korupsi dijelaskan secara rinci dalam 13 buah pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam regulasi ini ditegaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan setiap orang baik pemerintahan maupun swasta yang melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Artinya, pelaku korupsi tidak hanya berasal dari golongan pemerintahan, dapat juga dari unsur lain (swasta).
Penjabaran atas beragam definisi tentang korupsi mengantar pada simpulan bahwa korupsi sesungguhnya merupakan perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh keuntungan yang dilakukan oleh oknum secara pribadi dan atau berkelompok untuk kepentingan sendiri, keluarga dan kelompoknya.
Dorongan untuk melakukan tindakan korupsi dapat karena faktor internal (dorongan diri pribadi) dan dan eksternal (pengaruh dari luar diri sendiri). Dorongan tindakan korupsi secara internal lebih ke arah moral seperi lemahnya keimanan, sikap jujur, rasa malu, gaya hidup yang konsumtif dan juga orientasi pikir dan perilaku materialisme. Sementara secara eksternal dapat diperhatikan dalam aspek ekonomi misalnya penghasilan atau gaji yang rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan. Pengaruh aspek politis juga dapat mendorong tindak korupsi seperti kepentingan politis, instabilitas politis dan kehendak mempertahankan jabatan. Aspek manajemen organisasi seperti minimnya akuntabilitas dan transparansi; aspek regulasi terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakan serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku antikorupsi (Trinovani, 2006).
Sejalan dengan itu, Hargen juga menjelaskan bahwa faktor pendorong terjadinya korupsi dapat dipilah menjadi tiga kategori yaitu individu, system dan irisan (antara individu dan system) (Risbiyantoro, 2005). Dalam pandangan Hargen, wilayah individu merupakan area yang terkait sepenuhnya dengan aspek manusia itu sendiri, menyangkut moralitas personal serta kondisi situasional seperti peluang terjadinya korupsi termasuk di dalamnya adalah faktor kemiskinan dan perilaku keseharian. Wilayah sistem merupakan aspek institusi/administrasi. Wilayah ini terkonsentrasi pada penyebab korupsi sebagai konsekuensi dari tidak efektifnya kerja sistem. Dalam konteks ini, lemahnya mekanisme control, birokrasi tidak terstruktur dan kerapuhan sebuah sistem memberi peluang terjadinya korupsi (Dewi, 2017).
Wilayah irisan antara individu dan system disebut Hergen sebagai aspek sosial budaya. Aspek ini mencakup hubungan antara politisi, unsur pemerintah dan organisasi non pemerintah. Selain itu meliputi juga kultur masyarakat yang cenderung permisif, kurang perduli dan menganggap hal yang tidak terpuji sebagai suatu tindakan yang biasa. Aspek ini juha mencakup terjadinya pergeseran nilai, logika, sosial, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat.
Praktik korupsi di Indonesia sudah terjadi sejak masa sebelumnya dan terindikasi mengalami peningkatan dalam konteks jumlah dan variasi pelaku maupun modus operandinya. Capaian Indonesia pada Indeks Persepsi Korupsi dapat menjadi parameter untuk melihat perkembangan jumlah korupsi yag terjadi. Menurunnya peringkat IPK dari 102 menjadi 96, sudah menunjukkan adanya peningkatan kuantitas korupsi. Dalam kotak yang lebih sempit yaitu negara G-20 Indonesia menduduki peringkat ke-3, sedangkan di lingkup Asean berada pada peringkat ke-5 negara terkorup.
Gambar 9.1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 10 Tahun Terakhir
Fluktuasi angka pada indeks persepsi korupsi yang berada dalam kisaran 30 (kecuali tahun 2019) dengan skala 0-100 dalam 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa praktik korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Kasusnya sudah meluas di tengah masyarakat, baik dilihat dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian negara. Dilihat dari aspek kualitas korupsi yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Peringkat dan reputasi korupsi Indonesia ini tidak terjadi dengan serta merta, tiga sektor yang diklaim sebagai bidang paling rawan terhadap tindak pidana korupsi adalah partai politik, kepolisian dan pengadilan. Sementara itu, kecenderungan masyarakat memberikan suap paling banyak di sector administrasi, perpajakan, non konstruksi, pertahanan keamanan, migas, perbankan, dan properti (Deshaini & Oktarina, 2017). Identifikasi ini tidak menutup kemungkinan bahwa praktik korupsi dengan aksi suap terjadi pada sektor yang lainnya untuk mempermudah urusan dan memperoleh keuntungan.
Praktik korupsi termasuk salah satu kejahatan yang relatif sulit dan membutuhkan waktu lama untuk dibongkar. Dibutuhkan kehati-hatian dengan landasan hukum yang kuat agar oknum pelaku korupsi dapat ditindak sesuai ketentuan hukum sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan. Tidak jarang, dalam proses penanganan korupsi terdapat perbedaan pendapat dan penafsiran di kalangan praktisi hukum dengan pihak lain tentang batasan korupsi. Dualisme pendapat ini pun sering bermuara pada dibebaskannya oknum pelaku korupsi dengan berbagai dalih, padahal praktik korupsi yang dilakukan sudah nyata dan menimbulkan kerugian negara. Kompleksnya dampak atau kerugian yang ditanggung akibat korupsi, menjadikan kasus ini harus ditangani secara serius.
Dampak Korupsi dan Urgensi Pencegahan Korupsi
Dampak korupsi tidak hanya pada satu aspek kehidupan, serupa efek domino yang merambah semua aspek kehidupan dan berpengaruh kuat terhadap eksistensi negara dan bangsa. Sudah sangat banyak kajian yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat terhadap korupsi dan variabel serta dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, negara dan bangsa. Dalam konteks negara meluasnya praktik korupsi di berpotensi memperburuk kondisi ekonomi. Muaranya, harga berbagai barang kebutuhan menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, disertai minimnya ketersediaan barang. Akses rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi lebih sulit, terjadinya kerusakan lingkungan hidup, keamanan suatu negara terancam, dan citra pemerintahan yang semakin buruk di mata internasional sehingga menggoyahkan kepercayaan investor, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan (Trinovani, 2006).
Hasil penelitian lain yang lebih elaboratif menyimpulkan bahwa korupsi mengakibatkan penurunan tingkat produktivitas yang dapat diukur melalui berbagai indikator fisik, seperti buruknya kualitas infrastruktur jalan raya (Yanto et al., 2020), sekolah, rumah sakit dan bangunan lainnya. Tidak hanya itu, World Bank juga membuat laporan yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan hutang yang sangat parah, berpenghasilan rendah dan termasuk kategori negara miskin bersama Mali dan Ethiopia (Trinovani, 2006).
Dampak lain korupsi adalah (1) rusaknya sistem tatanan masyarakat; (2) ekonomi biaya tinggi dan sulit melakukan efisiensi; (3) memunculkan beragam masalah sosial di masyarakat; (4) memicu timbulnya penderitaan sebagian besar masyarakat di sektor ekonomi, administrasi, politik dan juga hukum; (5) akhirnya menimbulkan sikap frustasi, ketidakpercayaan, apatis terhadap pemerintah yang berdampak kontraproduktif terhadap pembangunan (Risbiyantoro, 2005).
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah (miskin), korupsi memiliki dampak saling terpaut satu dengan yang lainnya yang dapat dirasakan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang dirasakan masyarakat miskin akibat maraknya perilaku korupsi adalah rendahnya kualitas pelayanan publik baik untuk urusan administrasi maupun hal lainnya, terjadi pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti kesehatan dan pendidikan meski pun masyarakat memiliki adminitrasi lengkap dan semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik. Sementara dampak tidak langsung yang dirasakan adalah adanya kecenderungan pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, seperti pengalihan fungsi lahan yang dimiliki masyarakat secara sepihak oleh pemerintah tanpa memberikan pengganti harga lahan (beli atau sewa).
Tabel 9.1 Identifikasi Dampak Korupsi
Bidang
Dampak
Ekonomi
Penurunan produktivitas
Tingginya harga barang dan jasa
Lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi
Rendahnya kualitas barang dan jasa bagi publik
Menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak
Meningkatnya hutang negara
Sosial dan kemiskinan masyarakat
Mahalnya harga jasa dan pelayanan publik praktek
Pengentasan kemiskinan berjalan lambat
Terbatasnya akses bagi masyarakat miskin
Meningkatnya angka kriminalitas
Solidaritas sosial semakin langka dan demoralisasi
Runtuhnya otoritas pemerintah
Matinya etika sosial politik
Tidak efektifnya peraturan dan perundang-undangan
Birokrasi tidak efisien
Politik dan demokrasi
Munculnya kepemimpinan korup
Hilangnya kepercayaan publik pada demokrasi
Menguatnya plutokrasi
Hancurnya kedaulatan rakyat
Penegakan supremasi hukum
Fungsi pemerintahan mandul
Hilangnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga negara
Pertahanan dan keamanan
Kerawanan Hankam Nas karena lemahnya alusista dan SDM indonesia
Lemahnya garis batas negara
Menguatnya sisi kekerasan dalam masyarakat
Kerusakan lingkungan
Menurunnya kualitas lingkungan
Menurunnya kualitas hidup
Disadur dari berbagai sumber
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa korupsi memiliki an enermous destruction effects terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara. Meski bukan hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi tidak ada tawaran lain selain berusaha maksimal untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam berbagai bentuk dan manifestasinya.
Upaya pencegahan korupsi umumnya dapat dilakukan dengan tiga strategi utama yaitu preventif, investigatif dan edukatif. Strategi preventif mengarah kepada upaya mencegah korupsi melalui perbaikan system dan prosedur dengan membangun budaya organisasi yang fokus pada prinsip fairness, transparency, accountability dan responsibility sehingga mampu mendorong individu untuk melaporkan segala bentuk korupsi yang terjadi. Strategi investigatif fokus pada upaya memerangi korupsi melalui deteksi, investigasi dan penegakan hukum. Sedangkan strategi edukatif dilakukan dengan mendorong masyarakat berperan serta memerangi korupsi sesuai kapasitas dan kewenangan masing-masing. Kepada masyarakat perlu ditanamkan nilai integrity dan benci terhadap korupsi melalui pesan moral. (Risbiyantoro, 2005).
Strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi ini memberi gambaran bahwa memang masyarakat dari semua elemen penting untuk dilibatkan agar secara bersama-sama berjuang melawan segala bentuk korupsi. Dampak korupsi dirasakan oleh seluruh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung, maka sudah sangat wajar jika seluruh elemen masyarakat dapat menjadi pelaku aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi termasuk mahasiswa.
Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Korupsi
Pasal 1 angka 3 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai salah satu elemen masyarakat, mahasiswa juga memiliki kewajiban yang serupa yaitu membantu dan mendukung secara aktif upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sesuai kapasitas dan peraturan perundangan yang berlaku. Peran serta mahasiswa tentu tidak dalam ruang penindakan yang menjadi ranah institusi penegak hukum, tetapi lebih difokuskan kepada upaya pencegahan korupsi dengan turut andil membangun budaya antikorupsi di masyarakat. Mahasiswa dapat berperan maksimal sebagai agent of change dan penggerak gerakan antikorupsi di lingkungan masyarakat. Mempengaruhi masyarakat agar menjadi lebih sadar dan tidak bersikap permisif terhadap segala tindakan korupsi apa pun bentuk dan manifestasinya.
Agar dapat berperan aktif, mahasiswa tentu harus membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang korupsi dari konsep hingga upaya pencegahan dan pemberantasannya. Hal yang tidak kalah penting adalah, mahasiswa juga harus memahami dan menerapkan dengan baik nilai antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai sudah berteriak untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi, tetapi dalam kasus tertentu malah bersikap permisif dan bahkan menjadi pelaku perbuatan korupsi.
Mendukung pemahaman tentang korupsi, mahasiswa juga perlu mengenal diri agar dapat memilih dan menentukan strategi efektif yang akan digunakan dalam mendukung pencegahan korupsi. Maksudnya, mahasiswa perlu menyadari siapa dirinya, kekuatan dan kemampuan yang dimiliki. Selain sebagai peserta didik, mahasiswa adalah generasi yang diproyeksikan menjadi birokrat, teknokrat, pengusaha, dan profesi lainnya sehingga mahasiswa dituntut memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sehingga dapat membangun critical awareness yang baik tentang korupsi dan berani menyatakan kebenaran.
Kesadaran kritis tersebut akan menjadi pondasi yang kuat bagi mahasiswa untuk dapat menjadi agen pembaharu yang handal guna melakukan perbaikan terhadap kondisi ke arah yang lebih baik. Dalam konteks perbaikan tersebut, mahasiswa dapat melakukan kontrol sosial terhadap penyimpangan yang terjadi terhadap sistem, norma, dan nilai yang ada dalam masyarakat. Selain itu, dengan kekuatan yang dimiliki mahasiswa juga dapat berperan aktif dalam mempengaruhi kebijakan publik dari pemerintah. Banyak ruang yang dapat dimanfaatkan, seperti membangun opini publik, melakukan jumpa pers mengadakan diskusi terbuka dengan pihak yang berkompeten, termasuk juga melakukan demonstrasi dan pengerahan massa jika semua cara komunikatif yang dilakukan tidak berjalan dan berhasil maksimal.
Mahasiswa dengan segala eksistensinya diharapkan pemerintah agar dapat berperan aktif dalam pembangunan, terutama sebagai agen perubahan yang menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan yang koruptif sekaligus menjadi penjaga lembaga negara dan penegak hukum. Mewujudkan kehendak tersebut, mahasiswa memiliki ruang gerak luas untuk melakukan aktivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi yaitu lingkungan keluarga, kampus, masyarakat, lokal, nasional dan internasional (Burhanudin, 2019; Deshaini & Oktarina, 2017; Dewi, 2017).
Lingkungan keluarga
Internalisasi nilai antikorupsi dimulai dari lingkungan keluarga, yang dapat dilakukan dengan mengamati aktivitas keseharian anggota keluarga. Jika mahasiswa menemukan ada hal yang tidak baik dan melanggar ketentuan maka mahasiswa harus berani menyampaikan hal tersebut meski pun kepada orang tua dan keluarga lainnya, tentu dengan cara yang baik sehingga dapat diterima dengan baik pula.
Lingkungan kampus
Untuk berperan secara optimal dalam pemberantasan korupsi di area kampus, mahasiswa harus jeli memperhatikan dan memikirkan secara jernih ruang dan potensi terjadinya korupsi.ruang dimaksud adalah sejak penerimaan mahasiswa baru, proses perkuliahan, penggunaan dana di lingkungan kampus dan akhir perkuliahan.
Awal masuk perkuliahan merupakan penerimaan mahasiswa, mahasiswa dapat mengkritisi kebijakan internal kampus dan melakukan pressure kepada pemerintah jika dirasa kebijakan tersebut memberi peluang praktik korupsi. Mahasiswa juga dapat melakukan pengawasan terhadap proses penerimaan mahasiswa baru dan melaporkan kepada pihak yang berwenang jika mengetahui adanya penyelewengan. Hal lain yang dapat dilakukan mahasiswa adalah memberikan edukasi kepada rekannya (calon mahasiswa) supaya menghindari praktik tidak sehat dalam proses penerimaan mahasiswa.
Dalam proses perkuliahan, diperlukan penekanan yang lebih intens terhadap moralitas mahasiswa dalam berkompetisi dan dosen dalam memberikan penilaian agar menghindari cara yang curang. Mahasiswa juga dapat mengkritisi dosen jika tingkat keaktifan dosen dalam proses perkuliahan masih kurang. Upaya yang dapat dilakukan mahasiswa untuk menghindari hal tersebut adalah berusaha belajar dengan serius agar hasil belajar maksimal dengan cara yang baik.
Sejalan dengan itu, mahasiswa dapat mengkritisi penggunaan dana di lingkungan kampus dengan melakukan kajian kritis terhadap laporan pertanggungjawaban keuangan kampus. Upaya edukatif dalam konteks ini dapat dilakukan dengan mengadakan dialog, diskusi dan juga seminar. Dapat juga mengadakan lomba karya ilmiah dengan tema pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan kampus.
Berikutnya adalah di tahap akhir masa perkuliahan, mahasiswa harus menghindari dan mengkritisi hal yang dianggap sebagai praktik jalan pintas agar lekas wisuda. Dalam konteks ini, mahasiswa wajib memahami bahwa gelar yang diperoleh memiliki konsekuensi berupa tanggung jawab moral sehingga harus menghindari cara tidak baik.
Lingkungan masyarakat
Mahasiswa merupakan salah satu elemen dari masyarakat yang sekaligus berperan sebagai pendorong, penyemangat dan model dalam penerapan perilaku terpuji. Dalam masyarakat, mahasiswa dapat memainkan peran social control dan pembaharu terhadap system. Peran ini dapat mengantar mahasiswa untuk melakukan aksi preventif dengan membantu masyarakat mewujudkan peraturan yang adil dan berpihak kepada rakyat, sekaligus memberi kritikan dan otokritik terhadap kebijakan yang terindikasi tidak berpihak kepada rakyat.
Selain itu, mahasiswa juga dapat mengambil peran edukatif terhadap masyarakat dengan memberikan penyuluhan dan bimbingan mengenai korupsi. Mendorong dan mengajak masyarakat untuk sama-sama berani melawan dan melaporkan setiap tindakan korupsi yang terjadi kepada pihak yang berwenang. Strategi investigatif juga dapat dimainkan mahasiswa di tengah masyarakat dengan cara memberi pendampingan ketika melakukan investigasi terhadap perilaku yang terindikasi korupsi. Serta memberi tekanan kepada penegak hukum agar bertindak tegas dan adil terhadap pelaku korupsi yang dapat dilakukan dengan membangun opini publik atau demonstrasi.
Lingkungan lokal, nasional dan internasional
Gerakan pencegahan korupsi oleh mahasiswa di tingkat local, nasional maupun internasional juga dapat dilakukan dengan menjadi komunikas dan koordinasi dengan lembaga lain. Tujuan pencegahan korupsi oleh mahasiswa pada berbagai level wilayah ini dominan ke arah mencegah perilaku koruptif dan tindak korupsi yang masif dan sistematis di masyarakat. Dengan segala potensi dan kompetensi yang dimiliki mahasiswa dapat menjadi leader dalam gerakan massa anti korupsi baik yang bersifat lokal maupun nasional. Seperti yang sudah dilakukan dalam sejak lama ketika menyikapi berbagai kasus korupsi di daerah maupun lingkup nasional. Sementara di level internasional, mahasiswa dapat menjalin kerjasama dengan berbagai NGO yang konsen terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Keterlibatan mahasiswa dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi memiliki dasar hukum, tujuan dan arah yang jelas. Upaya yang dilakukan pun sudah terbukti dapat mempengaruhi kebijakan dan system yang terindikasi tidak adil dan minim keberpihakan kepada masyarakat banyak. Hal penting yang perlu dilakukan adalah memberi arahan dan pengertian kepada mahasiswa untuk tetap mengedepankan idealismenya secara sehat dan menghindari segala tindakan anarkis dalam memperjuangkan kebenaran untuk rakyat banyak.
Kesimpulan
Korupsi sudah disepakati sebagai extraordinary crime yang membutuhkan tindakan nyata dan kerjasama semua elemen masyarakat serta aparat penegak hukum dalam pencegahan dan pemberantasannya. Mahasiswa sebagai elemen masyarakat juga dapat berperan sebagai social power dan agent of change dalam menekan pemerintah dan mempengaruhi kebijakan yang terindikasi permisif terhadap tindakan dan pelaku korupsi. Potensi dan kompetensi mahasiswa dapat dikelola dengan baik untuk penccegahan korupsi pada lingkungan keluarga, kampus dan masyarakat dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional untuk kebijakan yang berpihak pada masyarakat banyak.
Referensi :
BPS. (2022). Indeks Perilaku Anti Korupsi. 1 Agustus 2022. https://bit.ly/3Qtexm0
Burhanudin, A. A. (2019). Kontribusi Mahasiswa dalam Upaya Pencegahan Korupsi. El-Faqih : Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam, 5(1), 78–95. https://doi.org/10.29062/faqih.v5i1.40
Databoks. (2022). Indeks Persepsi Korupsi. 26 Januari 2022. https://bit.ly/3w8HPOE
Deshaini, L., & Oktarina, E. (2017). Peranan dan Keterlibatan Mahasiswa dalam Gerakan Anti Korupsi. Menuju Masyarakat Madani Dan Lestari, November, 214–225.
Dewi, P. M. (2017). Upaya Pemberantasan Korupsi. In Proseding Seminar Korupsi (pp. 1–32).
Gani, A. W., & Resa, J. (2018). Prosiding Seminar Nasional: Peranan Mahasiswa dalam Upaya Mencegah Tindak Pidana Korupsi. Prosiding Seminar Nasional, 641–643. https://www.merdeka.com/peristiwa/
Risbiyantoro, M. (2005). Peranan Mahasiswa dalam Memerangi Korupsi. Modul Sosialisasi Anti Korupsi BPKP, 1(31), 1–5. http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/Gambar/PDF/peranan_mahasiswa.pdf
Surono, A. (2016). Sikap Anti Korupsi di Kalangan Siswa dan Mahasiswa dalam Mewujudkan Penyelenggaraan Negara Anti Korupsi dan Berbasis Keadilan. Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 3(2), 372–388. https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a8
Trinovani, E. (2006). Pengetahuan Budaya Anti Korupsi. In N. Suwarno (Ed.), Pusat Studi Kesehatan-Kemenkes (1st ed., Vol. 1999, Issue December). Kemenkes Republik Indonesia.
Yanto, O., Samiyono, S., Walangitan, S., & Rachmayanthy, R. (2020). Mengoptimalkan Peran Perguruan Tinggi dalam Mengurangi Prilaku Korupsi. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(1), 70–84. https://doi.org/10.54629/jli.v17i1.535








