Berita

APA ITU JALAN KERBAU oleh: FATHUL RAKHMAN

-

Dua hari kami mengikuti lika-liku kerbau. Mulai dari kandang. Cari makan. Berendam. Rebahan. Hingga kemudian menemukan istilah “jalan kerbau”. Ada beberapa momen yang belum kami dokumentasikan. Selain karena jalur yang panjang. Keterbatasan waktu, tenaga, dan juga kelelahan.

Saya lupa kapan terakhir kali makan daging kerbau. Rasa-rasanya dalam sebuah pesta di Beleka Lombok Tengah ? Atau dulu pernah kawan dari Jerowaru memberikan dendeng kerbau. Saya lupa saking lamanya. Daging kerbau mirip daging sapi, cuma serat dagingnya itu rasanya lebih besar dan lebih kasar.

Kerbau adalah keseharian masyarakat Lombok. Berbeda dengan sapi yang selalu dikandangin dan dimanja, kerbau banyak membantu petani. Di Sambelia aktivitas membajak sawah menggunakan kerbau. Traktor tidak bisa menggantikan kerbau. Persawahan di daerah ini juga menjadi ladang batu. Sawah yang subur dan selalu berair, banyak juga “ditumbuhi” batu sisa letusan gunung (perlu riset untuk menjelaskan batu batu di Sambelia). Karena batu ini kerbau masih dimanfaatkan jasanya oleh petani.

Bagi petani yang baru selesai menanam jagung atau padi, tidak perlu repot membersihkan. Ada kawanan kerbau yang akan membersihkan. Melumat habis. Kerbau tidak pilih pilih makanan. Asal jangan makan plastik saja. Para pemilik lahan senang sisa tanaman yang sudah panen dimakan kerbau. Kerbau akan pupppppp yang akan menjadi tambahan nutrisi. Nanti ketika persiapan menanam jasa kerbau kembali dimanfaatkan.

Kerbau adalah lambang status sosial. Kekayaan diukur dari berapa ekor kerbau yang dimiliki. Untuk melamar anak gadis, kerbau adalah maharnya. Hingga kini di Bayan Lombok Utara masih menggunakan kerbau sebagai mahar atau pisuke. Walaupun hari ini bisa dihitung dengan jari pemilik kerbau. Kerbau banyak didatangkan dari daerah selatan Lombok. Termasuk juga dari Sambelia.

Baca Juga :  Rachmat Hidayat Gelorakan Empat Pilar Kebangsaan pada Generasi Milenial di Pulau Lombok

Walaupun ada sapi, tapi kerbau masih menjadi ukuran untuk melamar. Seorang kawan mengeluarkan belasan ekor kerbau untuk bisa mempersunting gadis pujaannya. Dia membeli kerbau.

Ketika ada pelanggaran adat, lagi-lagi kerbau jadi sebagai “syarat” untuk membersihkan diri dari pelanggaran itu. Dalam ritual nyalamaq dilauq dan rebo bontong tetulak tamperan, kepala kerbau yang dilarungkan ke laut. Bukan sapi. Ketika tidak mampu membeli kerbau, biasanya diganti dengan kambing. Bukan sapi.

Kata pengembala kerbau, memelihara kerbau lebih aman dari sapi. Sapi sering menjadi sasaran pencurian. Sapi lebih lincah ketika dibawa. Beda dengan kerbau yang agak malas jalan cepat. Bobot yang berat, badan dekil penuh lumpur dan juga bau, membuat pencuri perlu berpikir ulang jika ingin mencuri kerbau. Tapi tetap ada saja pencurian kerbau.

Para pengembala kerbau sudah punya jalur sendiri. Sudah punya tempat mengembalakan kerbau. Lintas desa. Lintas kecamatan. Lintas kabupaten. Daerah yang dikenal dengan Pantai Kaliantan di Lombok Timur sejatinya adalah ladang pengembalaan kerbau bagi warga selatan Lombok (Lotim dan Loteng). Kadang membangun kandang darurat. Dan belakangan tanah-tanah di tempat itu menjadi milik investor.

Gawah (hutan) Sekaroh adalah jalur pengembalaan kerbau. Sejak lama. Lama sekali. Mereka biasa menginap. Terutama ketika pakan di kampung halaman terbatas.

Lagi-lagi belakangan beberapa lokasi di kawasan itu diberikan pengelolaan ke investor. Pariwisata.

Sepanjang pantai selatan adalah jalur kerbau. Sekarang masih bisa kita nikmati kerbau yang melintas di kala senja di Pantai Selong Belanak. KEK Mandalika juga dulunya seperti itu. Tapi belakangan tentu saja kerbau-kerbau itu tidak bisa seenaknya melintas.

Di Sambalia, beberapa tempat menjadi tambak. Di hutan yang dulunya biasa tempat mengembala kerbau kini terlarang. Sebuah korporasi mendapatkan izin seribu hektar lebih di kawasan itu. Kata pengembala mereka dilarang ke kawasan itu.

Baca Juga :  Bupati Lombok Utara Serahkan Bantuan Kursi Roda kepada Penyandang Difabel

Jadi bisa disimpulkan bahwa kerbau adalah korban pariwisata dan korban pembangunan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *